Oleh : Shohibul Anshor Siregar
Berdasarkan analisis atas hasil-hasil survey, maka perbandingan antara Joko Widodo pada pilpres 2019 dan Edy Rahmayadi pada Pilgubsu 2024 memiliki beberapa persamaan yang menarik.
Meskipun sebagian masyarakat menginginkan pergantian kepemimpinan nasional, Joko Widodo tetap memiliki basis pendukung yang kuat untuk maju pada pilpres 2019. Survei waktu itu menunjukkan persentase lebih kecil yang menginginkan Joko Widodo untuk terus memimpin dibanding yang menginginkan pergantian.
Edy Rahmayadi juga memiliki popularitas yang cukup tinggi di Sumatera Utara. Namun, sebagaimana kasus Joko Widodo pada pilpres 2019, di antara survei untuk Pilgub Sumatera Utara ada yang menunjukkan bahwa persentase responden yang enggan dipimpin kembali sedikit lebih besar dibanding yang masih menginginkannya untuk kembali memimpin Sumatera Utara.
Joko Widodo dikenal dengan program-program pembangunan infrastruktur besar-besaran, seperti pembangunan jalan tol, bandara, dan pelabuhan. Pada level dan waktu yang berbeda Edy Rahmayadi fokus pada pembangunan infrastruktur dan peningkatan pelayanan publik di Sumatera Utara.
Meskipun ada kritik terhadap beberapa kebijakannya, banyak masyarakat yang puas dengan kinerjanya. Terhadap kinerja kedua pemimpin ini publik beroleh kepuasan cukup tinggi, meskipun ada kritik terhadap beberapa kebijakan masing-masing.
Dari kedua kasus ini faktor kepetahanaan tampaknya memiliki signifikansi pengaruh yang amat menentukan.
Tampaknya hal yang sama akan potebsil terjadi di seluruh Provinsi, Kabupaten dan Kota yang memiliki petahana dalam pilkada serentak Indonesia 2024.
Dua cara untuk mematahkan petahans seperti Edy Rahmayadi adalah memaksa Pilkada 2024 berhadapan dengan Kotak Kosong atau memperbanyak kontestan setidaknya menjadi tiga pasangan.
Tepapi umumnya kedua hal itu kini sudah tak memungkinkan lagi untuk dilakukan.
Hal lain yang perlu dicatat dalam kontestasi model demokrasi Indonesia kontemporer ialah menguatnya gejala backsliding democracy (kemunduran demokrasi) yang antara lain ditandai dengan praktik terang-terangan menentang nilai dan keluhuran demokrasi, termasuk praktik nepotisme yang menjadi salah satu alasan terjadinya reformasi yang dahsyat tahun 1998.
Praktik yang menyimpang jauh dari asas demokrasi itu justru berlangsung dengan klaim atas nama dan untuk demokrasi.
Hal ini menjadi tanggung jawab kepemimpinan nasional, kalangan masyarakat sipil dan masyarakat akademis dari kampus.***